Indonesia
adalah negeri bencana. Setiap hari ada saja bencana menimpa negeri ini.
Mulai bencana banjir, gempa, puting beliung, gunung meletus, tsunami,
dan beragam bencana fisik lainnya.
Kerawanan tersebut menuntut siapa saja di negeri ini menumbuhkembangkan sikap dan kepedulian terhadap bencana. Tak kalah pentingnya, jurnalis juga dituntut meningkatkan pengetahuan tentang mitigasi bencana.
Hal tersebut antara lain mengemuka pada Diskusi Media bertema Jurnalisme tentang Kebencanaan di Kantor Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), Jalan Andi Mappanyukki No 32, Makassar, Kamis (22/1/2015) siang. Diskusi ini digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan bekerja sama Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI).
Dari kiri - Andi Baliraja, Rusdin Tompo, Achmad Yusran, dan Muhammad Al Amin pada Diskusi Media di Kantor BaKTI, Makassar, Rabu (22/1/2015). |
Diskusi
ini menghadirkan Andi Baliraja MM (Kasi Kesiapsiagaan dan Pencegahan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulsel), Rusdin Tompo SH (mantan
Ketua KPID Sulsel) dan Muhammad Al Amin (Koordinator Divisi Advokasi
Walhi Sulsel) sebagai narasumber.
Diskusi dipandu Achmad Yusran yang juga pengurus PJI Sulsel. Dihadiri lebih 20 peserta yang berasal dari beragam profesi dan perwakilan institusi. Ada dari unsur pemerintah yang diwakili BPBD Sulsel, akademisi, SAR UNM, Walhi Sulsel, aktivis peduli lingkungan, mahasiswa, dan perwakilan media. Sedianya diskusi ini dimulai pukul 10.30 wita. Namun karena menunggu peserta, diskusi molor hingga sekitar sejam.
Pada diskusi ini, Andi Baliraja yang didaulat sebagai pembicara pertama lebih banyak memaparkan tentang tupoksi instansinya. Juga membeberkan beberapa kegiatan yang pernah dilakukan BPBD Sulsel terkait sosialisasi penanggulangan bencana di Sulsel.
Katanya, Sulawesi Selatan termasuk provinsi di Indonesia yang juga tergolong rawan bencana. Namun sejauh ini BPBD masih memprioritaskan penanggulangan bencana yang disebabkan perubahan iklim. Semisal banjir, puting beliung, dan gelombang pasang.
"Namun kami akui, sosialisasi dan penanggulangan bencana yang dilakukan BPBD belum begitu maksimal. Salah satu sebabnya kami kekurangan personel," papar Baliraja yang saat berdiskusi mengenakan pakaian dinas.
Sementara Rusdin berpendapat, media di Indonesia seharusnya memiliki desk khusus bencana. Minimal setiap media memiliki jurnalis yang ekspert dalam liputan bencana. Hal ini karena tak ada daerah di Indonesia yang aman dari bencana.
Pada diskusi ini, Rusdin banyak melontarkan kritiknya terkait praktik sebagian awak media yang ‘kurang sopan’ pada liputan bencana. Misalnya pertanyaan-pertanyaan sebagian wartawan yang meliput bencana umumnya bertendensi memainkan emosi dan mendesak.
Beberapa pertanyaan standar yang diajukan di antaranya, bagaimana perasaan keluarga korban? Apakah ada firasat sebelumnya? Serta sederet pertanyaan sejenis yang diajukan untuk mengaduk perasaan narasumber.
Ia banyak mengutip gagasan yang tertuang dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, jurnalis Kompas.
Intinya, jelas mantan pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan ini, sebagian awak media lebih suka mengeksploitasi cerita traumatik dari para korban dan keluarganya, daripada mengembangkan liputan yang memberi optimisme. Padahal, liputan demikian justru turut memperparah rasa trauma korban.
Pendiri Lembaga Studi dan Informasi Anak (Lisan) ini juga mengeritik media-media yang masih minim melakukan reportase terkait mitigasi bencana. Walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana.
Pemberitaan media massa di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, sejauh ini cenderung hanya marak pada saat kejadian (emergency). Sementara ketika masuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana, maka pemberitaannya pun sepi.
Padahal ketika poses rehabilitasi dan rekonstruksi, liputan para awak media juga sangat dibutuhkan. Satu di antara tujuannya sebagai alat kontrol guna mencegah penyalahgunaan bantuan yang telah disalurkan, baik dari masyarakat maupun pemerintah kepada para korban dan keluarganya.
"Karena itu saya mengusulkan perlu ada semacam buku saku tentang peliputan bencana bagi para jurnalis. Ini agar ada semacam panduan bersama para wartawan yang disepakati terkait liputan bencana," jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini.
PRB
Sementara Muhammad Al Amin, mengawali paparannya dengan menjelaskan definisi bencana menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yakni peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bisa disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Ia juga memaparkan potensi bencana per masing-masing kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Semisal potensi gempa itu rawan terjadi di Kabupaten Bone, Luwu, Lutim, Toraja, dan Enrekang. Bencana banjir paling sering terjadi di Kabupaten Maros, Pangkep, Jeneponto, dan Bulukumba.
Bencana longsor paling rawan terjadi Kabupaten Jeneponto, Sinjai, dan Gowa. Walaupun potensinya minim, tsunami tetap berpotensi mengena Makassar, Pinrang, dan Selayar. Sementara bencana kekeringan rawan terjadi di Maros dan Jeneponto.
Beragam bencana tersebut, tegas Al Almin, tidak serta merta faktor alam atau kehendak Tuhan. Tapi juga banyak bencana karena faktor aktivitas manusia semisal tambang.
“Bencana tersebut tidak bisa kita hindari. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko bencana,” papar mantan pengurus Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin ini.
Karena itu, katanya, semua kelompok masyarakat sipil, termasuk para jurnalis, dituntut memiliki pengetahuan tentang mitigasi bencana. Yang dimaksud mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Hal tersebut penting, kata Al Amin, karena selama ini umumnya warga memeroleh pengetahuan tentang bencana bersumber dari media massa. Maka bagi jurnalis yang kurang memiliki pemahaman yang memadai tentang mitigasi bencana, maka karya jurnalistiknya yang berkaitan bencana pun rawan menyesatkan.
"Padahal tentu kita berharap pemberitaan bencana di media massa lebih beretika dan mencerahkan masyarakat," kata mantan aktivis mahasiswa Universitas Hasanuddin ini.
Diskusi ini berakhir sekitar pukul 13.30 wita. Ditutup dengan acara makan siang yang disajikan pihak BaKTI. (jumadi mappanganro)
Diskusi dipandu Achmad Yusran yang juga pengurus PJI Sulsel. Dihadiri lebih 20 peserta yang berasal dari beragam profesi dan perwakilan institusi. Ada dari unsur pemerintah yang diwakili BPBD Sulsel, akademisi, SAR UNM, Walhi Sulsel, aktivis peduli lingkungan, mahasiswa, dan perwakilan media. Sedianya diskusi ini dimulai pukul 10.30 wita. Namun karena menunggu peserta, diskusi molor hingga sekitar sejam.
Pada diskusi ini, Andi Baliraja yang didaulat sebagai pembicara pertama lebih banyak memaparkan tentang tupoksi instansinya. Juga membeberkan beberapa kegiatan yang pernah dilakukan BPBD Sulsel terkait sosialisasi penanggulangan bencana di Sulsel.
Katanya, Sulawesi Selatan termasuk provinsi di Indonesia yang juga tergolong rawan bencana. Namun sejauh ini BPBD masih memprioritaskan penanggulangan bencana yang disebabkan perubahan iklim. Semisal banjir, puting beliung, dan gelombang pasang.
"Namun kami akui, sosialisasi dan penanggulangan bencana yang dilakukan BPBD belum begitu maksimal. Salah satu sebabnya kami kekurangan personel," papar Baliraja yang saat berdiskusi mengenakan pakaian dinas.
Diskusi Media bertema Jurnalisme tentang Kebencanaan di Kantor BaKTI, Jl Mappanyukki, Makassar, Rabu (22/1/2015). Diskusi ini digelar PJI Sulsel bekerja sama dengan Yayasan BaKTI. |
Sementara Rusdin berpendapat, media di Indonesia seharusnya memiliki desk khusus bencana. Minimal setiap media memiliki jurnalis yang ekspert dalam liputan bencana. Hal ini karena tak ada daerah di Indonesia yang aman dari bencana.
Pada diskusi ini, Rusdin banyak melontarkan kritiknya terkait praktik sebagian awak media yang ‘kurang sopan’ pada liputan bencana. Misalnya pertanyaan-pertanyaan sebagian wartawan yang meliput bencana umumnya bertendensi memainkan emosi dan mendesak.
Beberapa pertanyaan standar yang diajukan di antaranya, bagaimana perasaan keluarga korban? Apakah ada firasat sebelumnya? Serta sederet pertanyaan sejenis yang diajukan untuk mengaduk perasaan narasumber.
Ia banyak mengutip gagasan yang tertuang dalam buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) karya Ahmad Arif, jurnalis Kompas.
Mantan Ketua KPID Sulsel Rusdin Tompo |
Intinya, jelas mantan pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan ini, sebagian awak media lebih suka mengeksploitasi cerita traumatik dari para korban dan keluarganya, daripada mengembangkan liputan yang memberi optimisme. Padahal, liputan demikian justru turut memperparah rasa trauma korban.
Pendiri Lembaga Studi dan Informasi Anak (Lisan) ini juga mengeritik media-media yang masih minim melakukan reportase terkait mitigasi bencana. Walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana.
Pemberitaan media massa di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, sejauh ini cenderung hanya marak pada saat kejadian (emergency). Sementara ketika masuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana, maka pemberitaannya pun sepi.
Padahal ketika poses rehabilitasi dan rekonstruksi, liputan para awak media juga sangat dibutuhkan. Satu di antara tujuannya sebagai alat kontrol guna mencegah penyalahgunaan bantuan yang telah disalurkan, baik dari masyarakat maupun pemerintah kepada para korban dan keluarganya.
"Karena itu saya mengusulkan perlu ada semacam buku saku tentang peliputan bencana bagi para jurnalis. Ini agar ada semacam panduan bersama para wartawan yang disepakati terkait liputan bencana," jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini.
PRB
Sementara Muhammad Al Amin, mengawali paparannya dengan menjelaskan definisi bencana menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yakni peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bisa disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Divisi Advokasi Walhi Sulsel Muhammad Al Amin |
Ia juga memaparkan potensi bencana per masing-masing kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Semisal potensi gempa itu rawan terjadi di Kabupaten Bone, Luwu, Lutim, Toraja, dan Enrekang. Bencana banjir paling sering terjadi di Kabupaten Maros, Pangkep, Jeneponto, dan Bulukumba.
Bencana longsor paling rawan terjadi Kabupaten Jeneponto, Sinjai, dan Gowa. Walaupun potensinya minim, tsunami tetap berpotensi mengena Makassar, Pinrang, dan Selayar. Sementara bencana kekeringan rawan terjadi di Maros dan Jeneponto.
Beragam bencana tersebut, tegas Al Almin, tidak serta merta faktor alam atau kehendak Tuhan. Tapi juga banyak bencana karena faktor aktivitas manusia semisal tambang.
“Bencana tersebut tidak bisa kita hindari. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko bencana,” papar mantan pengurus Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin ini.
Karena itu, katanya, semua kelompok masyarakat sipil, termasuk para jurnalis, dituntut memiliki pengetahuan tentang mitigasi bencana. Yang dimaksud mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Hal tersebut penting, kata Al Amin, karena selama ini umumnya warga memeroleh pengetahuan tentang bencana bersumber dari media massa. Maka bagi jurnalis yang kurang memiliki pemahaman yang memadai tentang mitigasi bencana, maka karya jurnalistiknya yang berkaitan bencana pun rawan menyesatkan.
"Padahal tentu kita berharap pemberitaan bencana di media massa lebih beretika dan mencerahkan masyarakat," kata mantan aktivis mahasiswa Universitas Hasanuddin ini.
Diskusi ini berakhir sekitar pukul 13.30 wita. Ditutup dengan acara makan siang yang disajikan pihak BaKTI. (jumadi mappanganro)
Makassar, 22 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar