Oleh: Jumadi Mappanganro
Selain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, KUHP dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), para jurnalis di Indonesia perlu tahu tentang 10 pedoman penulisan berita tentang hukum.
Pedoman ini saya kutip dari lampiran buku Jurnalistik: Teori dan Praktik karya Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusmaningrat.
Pada buku ini disebutkan bahwa 10 pedoman penulisan hukum tersebut merupakan hasil karya latihan wartawan (KLW) ke-12 yang digelar PWI bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Bogor pada 24-30 Juli 1977.
Itu artinya pedoman tersebut sudah lebih 37 tahun lalu dibuat. Kendati demikian, saya menilai pedoman ini masih relevan menjadi rujukan bagi para jurnalis saat ini. Berikut di bawah ini intisari ke-10 pedoman dimaksud:
1. Pemberitaan mengenai seseorang yang dituduh, sangka, ditahan, maupun didakwa (dihadapkan di pengadilan) karena tersangkut dalam suatu perkara, hendaknya ditulis dan disajikan dengan tetap menjunjung tinggi asa praduga tak bersalah (presumption of innocence) atau wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memeroleh kekuatan hukum tetap. Jangan sampai di tertuduh sudah dihukum oleh pers, sedang perkaranya masih berproses atau belum diputus hakim.
2. Pers dapat saja menyebut lengkap nama tersangka jika itu demi kepentingan umum. Dengan catatan pemberitan tersebut fair dan mencakup para pihak (cover both side) yang terlibat sengketa atau proses hukum tersebut.
3. Nama, foto, video maupun identitas korban pemerkosaan maupun anak (di bawah 18 tahun) yang berhadapan dengan hukum hendaknya tidak dimuat lengkap atau jelas.
4. Anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dituduhkan dari salah seorang tersangka/terhukum, hendaknya tidak ikut disebut-sebut dalam pemberitaan.
5. Dalam rangka mengungkapkan kebenaran dan tegaknya prinsip-prinsip proses hukum yang wajar (due process of law), pers seyogianya mencari dan memublikasikan pula keterangan yang diperoleh di luar persidangan. Hal ini apabila terdapat petunjuk-petunjuk tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya persidangan.
6. Pers hendaknya memerhatikan sikap terhadap hukum dan tertuduh. Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan dengan wajar. Hal ini untuk menghindari trial by the press.
7. Pers menghindari menggunakan kata-kata yang bersifat opini. Misalnya memberitakan bahwa “saksi-saksi memberatkan terdakwa” atau “tertuduh memberikan keterangan yang berlit-belit.”
8. Pers hendaknya tidak berorientasi “polisi/jaksa centred”, tetapi memberi kesempatan yang seimbang atau wajar kepada pembela maupun tertuduh, tersangka, atau terdakwa atau para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.
9. Pemberitaan mengenai suatu perkara hendaknya proporsional, menunjukkan garis konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya. Sekali suatu perkara telah diberitakan, wartawan mempunyai kewajiban moril untuk memberitakannya sampai tuntas atau hingga ada putusan hakim.
10. Berita suatu perkara hendaknya memberikan gambaran jelas mengenai duduk perkara (posisi kasus) dan mengenai pihak-pihak dalam persidangan beserta argumentasi hukum dari masing-masing pihak. (*)
Sungguminasa, 2 Februari 2015
Ditulis di
Komentar
Posting Komentar