Oleh Yohanes Widodo
SOROTAN
terhadap pers dan wartawan tak kunjung henti. Bak lagu ‘benci tapi
rindu’: pers dan wartawan dicintai namun (terus) digugat dan dibenci.
Kebebasan pers yang diagung-agungkan kalangan pers justru ditanggapi
sebagian masyarakat dengan kecaman dan hujatan.
Pers sering dituduh
tidak lagi mengindahkan kode etik, mengabaikan prinsip keseimbangan dan
keakuratan, dan cenderung mengembangkan sajian informasi konflik,
kekerasan, dan pornografi.
Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif pernah menyebut lima penyakit pers, yaitu: pornografi, character assassination, berita palsu dan provokatif, iklan yang menyesatkan, serta wartawan yang tidak profesional (bodrex). Berbagai pihak kerap menyesalkan kekurangakuratan dan ketidakmampuan wartawan dalam mengolah pemberitaan.
Masalahnya
tidak hanya sampai di situ. Pers sendiri menghadapi kesulitan untuk
merekrut wartawan-wartawan berkualitas. Yudha Kartohadiprodjo,
Editor-in-Chief Men's Health Indonesia mengeluhkan kualitas para (calon)
wartawan.
“Saya selalu kesulitan untuk mencari fresh graduate yang memiliki kriteria, wawasan dan kemampuan seperti yang saya inginkan.” Keluhan ini mewakili sejumlah pemimpin redaksi yang pusing mencari SDM berkualitas.
Merunut
litani dosa-dosa pers, akar permasalahannya sebenarnya terletak pada
sumber daya manusia. Bicara soal sumber daya manusia pers, perhatian
kita akan tertuju kepada lembaga pendidikan jurnalisme. Di sini menyangkut persoalan output pendidikan jurnalisme yang sepertinya jauh panggang dari api. Karena itulah, lembaga pendidikan jurnalisme harus ikut bertanggung jawab untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh pers.
Publisistik vs Pertanian?
Hampir
semua orang tahu, sebagian besar wartawan bukanlah alumni lulusan
pendidikan jurnalisme. Sebagian wartawan–termasuk beberapa pemimpin
redaksi sejumlah media top–adalah alumni Institut Pertanian Bogor
(IPB)—bahkan IPB sering diplesetkan menjadi Institut ‘Publisistik’
Bogor.
Mengapa justru lebih banyak alumni perguruan tinggi non jurnalisme yang diterima menjadi wartawan? Pertama, beberapa media cenderung mencari kandidat yang belum jadi (baca: tidak memiliki basic jurnalisme) namun memiliki kemampuan spesialis yang handal. Media-media
ini lebih mengandalkan pendidikan wartawan lewat diklat internal,
sehingga wartawan-wartawan yang dididik benar-benar memiliki kompetensi
standard dan menjiwai visi-misi dan spirit media mereka.
Kedua,
kualifikasi alumni pendididikan jurnalisme kalah dengan alumni non
jurnalisme. Kompetensi lulusan pendidikan jurnalisme ternyata tidak
lebih baik dari lulusan pendidikan non jurnalisme. Lemahnya
kompetensi itu bisa jadi disebabkan ketidakpekaan lembaga dan pengajar
jurnalistik dengan kompleksitas kebutuhan media dan persoalan
masyarakat.
Melihat
realitas kesenjangan kemampuan (calon) wartawan alumni pendidikan
jurnalisme, lebih jauh kita bisa mempertanyakan: Seperti apa pendidikan
jurnalisme di Indonesia terutama yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi melalui program studi jurnalistiknya?
Bagaimana standar kurikulum
yang seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan jurnalistik semacam
ini? Apakah pendidikan atau sekolah jurnalisme telah mampu menjawab kebutuhan dan media? Apakah output pendidikan jurnalisme sudah link and match dengan media massa?
Salah
satu penelitian tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia dilakukan
oleh Thomas Hanitzsch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau,
Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada.
Salah satu tulisannya berjudul "Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses," diterbitkan pada jurnal Mediator
Universitas Islam Bandung (vol. 2 no. 1 tahun 2001). Menurut Hanitzsch
(Harsono, 2004) mendefinisikan mutu dalam jurnalisme, dengan mengutip
ilmuwan Jerman, Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok."
Ia sesuatu yang sia-sia.
Wartawan vs Sekolah Jurnalisme
Pada
akhir abad XIX dan awal abad XX, dari Joseph Pulitzer (Amerika
Serikat) hingga Max Weber dan Richard Wrede (Jerman), sudah
memperdebatkan apa ukuran jurnalisme bermutu, namun diskusinya sulit
sekali, kalau tak bisa dibilang sia-sia.
Ada kubu yang berpendapat
wartawan perlu sekolah jurnalisme, antara lain Pulitzer yang memberikan
uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism
pada 1902, ada pula kubu yang berpendapat wartawan tak perlu belajar
sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu, antara
lain orang-orang Universitas Harvard, yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada 1939.
Di Amerika ada puluhan program serupa Nieman Fellowship dimana wartawan diberi kesempatan mencicipi berbagai ilmu namun mereka tak menerima gelar. Namun di Amerika juga banyak sekolah wartawan bermutu dimana wartawan diajari berbagai macam ketrampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu sosial atau ilmu lain yang menarik minat mereka.
Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada 1990, mencoba maju lebih kongkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik: (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya;
(2) Kompetensi transfer,
misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam
jurnalisme dan sebagainya;
(3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer,
internet, disain grafis dan sebagainya;
(4) Kompetensi tingkat lanjut,
misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial,
bahasa asing dan sebagainya.
Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel. Berdasarkan tabel itu ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme dalam program komunikasi:
(1) Universitas Gadjah Mada;
(2) Lembaga Pers
Dokter Soetomo;
(3) Institut Ilmu Sosial dan Politik;
(4) Multi Media
Training Center (MMTC);
(5) Universitas Indonesia.
Ada beberapa kesimpulan yang didapat Hanitzsch. Pertama, pendidikan jurnalisme kita masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." Kedua,
tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media.
Sekolah jurnalisme punya dunianya sendiri, sedangkan industri media
berada pada dunia yang lain.
Lembaga Pers Doktor Sutomo (LPDS) dan
Lembaga Pendidikan, Pelatihan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) punya
pendekatan yang berbeda namun juga tak memadai karena mereka tak
dilengkapi dengan sekolah di bidang penyiaran – sesuatu yang berkembang
pesat di Indonesia.
Ketiga, semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun disain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan pengetahuan komunikasi plus matakuliah macam Pancasila dan sebagainya.
Keempat,
di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80
persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga
Jayapura, dari Maluku hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak
punya sekolah jurnalisme. Ia melihat ada ketimpangan besar antara
jurnalisme di Jawa dan Medan serta di kota-kota timur.
Hanitzsch memberikan data lengkap pada kelima sekolah itu. Sekolah wartawan pertama di Jakarta adalah "Akademi Wartawan" yang didirikan pada 1950 dan jadi cikal bakal IISIP. UGM mendirikan jurusan "publicitit" pada 1953. Universitas Indonesia mendirikannya pada 1959.
Namun semua sekolah yang diteliti Hanitzsch punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. UGM misalnya, dari 16 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme.
IISIP punya 10 dosen tetap, tanpa
jurusan penyiaran, dan hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di
bidang jurnalisme. MMTC didirikan oleh Departemen Penerangan pada 1985
untuk mendidik karyawan TVRI dan RRI. Namun sejak jatuhnya Presiden
Soeharto, ia kesulitan dana dan kini masih belum punya kejelasan akan
masa depannya.
Kebanyakan sekolah ini menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan tentang komunikasi namun kemampuan praktis di bidang jurnalisme, misalnya menulis, sedikit diajarkan. Bahkan di UGM, teknik investigasi dan format berita dijadikan satu mata kuliah, diajarkan satu semester saja. Semua sekolah ini juga tak memberikan kesempatan mahasiswa untuk merasakan ruang redaksi – sesuatu yang normal dilakukan sekolah macam Columbia Graduate School of Journalism.
Pendidikan
jurnalistik di Indonesia, tidak hanya lemah di praktek tetapi juga
etika. Perguruan tinggi jurnalisme cenderung mengajarkan teori, sedikit
sekali muatan praktis dan etis. Kelemahan mungkin di perguruan tinggi
yang tidak merancang kurikulum secara komprehensif.
Sialnya setelah itu
pengajar yang dipilih juga tak maksimal membawakan silabus dari
kurikulum tersebut. Banyak faktor yang menyebabkannya, bisa saja
pengajar memang tak menguasai materi, fasilitas perguruan tinggi seperti
lab berita sangat minim, bahkan tidak ada.
Adapula akibat referensi sangat terbatas, kalaupun ada, buku-buku bagus itu masih dalam bahasa Inggeris. Bisa pula akibat satu fakultas atau sekolah komunikasi hanya mempunyai program atau jurusan jurnalistik secara umum saja, belum spesifik. Padahal di luar negeri, program atau jurusannya sudah tajam menjadi jurnalistik tv, jurnalistik radio, jurnalistik cetak, bahkan jurnalistik online.
Mungkin
temuan Thomas Hanitzsch sama sekali tidak mengagetkan. Karena isu ini
juga sering dibicarakan di kalangan wartawan kita. Para redaktur masih
kesulitan mencari tenaga wartawan, atau orang
yang bisa dididik jadi wartawan. Padahal sekolah jurnalisme banyak
sekali. Hanisztch menulis 69 sekolah itu punya 19 ribu mahasiswa. Ia
seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan media Indonesia.
Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS, dalam suatu milis pada awal 2000 mengatakan, jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekitar 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi.
Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta (total 31 di seluruh Indonesia), paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Kita bakal melihat ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta – mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?
Pendidikan Jurnalisme Penyiaran
Jika Thomas Hanitzsch menyoroti pendidikan jurnalisme cetak, maka pendidikan jurnalisme penyiaran jauh lebih minim lagi, dan lebih memprihatinkan. Eric Sasono, trainer jurnalisme radio dari Internews Indonesia mengatakan dengan pertumbuhan media penyiaran seperti sekarang, ternyata pemasoknya masih sangat minim.
Selain Universitas
Indonesia, UGM dan UNPAD, tak banyak perguruan tinggi yang punya
pendidikan untuk penyiaran – terutama radio. Dan masalah ketersambungan
dengan kebutuhan industrinya juga masih persoalan sangat besar.
Seorang
pelaku radio dan mantan anggota Dewan Pers, Zainal Suryokusumo pernah
bercerita bahwa PRSSNI pernah mengadakan kerjasama dengan UNPAD untuk
memperkuat lembaga pendidikan jurnalisme penyiaran, khususnya radio, di
lembaga tersebut.
Namun ternyata lulusan dari sana tak memadai untuk
siap langsung bekerja di lembaga penyiaran. Sekalipun beberapa pekerja
radio dari Mara FM, Bandung ikut memberikan pendidikan, tetapi kebutuhan
praktis tetap tak terpenuhi. Mungkin ini persoalan kurikulum.
Pertanyaannya yang lebih mendasar, mana yang harus didahulukan:
kebutuhan akademis yang less-practical ataukah kebutuhan praktis yang kerap bersifat teknikal saja?
Sepanjang pengalamannya menggeluti jurnalisme radio, Eric mengakui bahwa ternyata para pekerja radio sangat rendah pemahamannya terhadap filosofi dan karakter media mereka. Akibatnya mereka hanya melakukan pekerjaan dari hari ke hari tanpa pernah mempertanyakan prinsip-prinsip kerja tersebut. Padahal dunia berubah, dan asumsi-asumsi yang diletakkan menjadi dasar berpikir bagi prinsip-prinsip itu juga turut berubah.
Dengan
perkembangan jurnalisme seperti sekarang, terasa sekali bahwa
jurnalisme radio di Indonesia sedang berjalan di tempat. Nyaris tak ada
terobosan dalam kreasi, dan semua hanya meghadirkan rutinitas demi
rutinitas. Bahkan Eric mengkhawatirkan proses menghilangnya "quality jurnalism" pada dunia radio. Padahal banyak orang yang sedang berpikir bahwa berjurnalisme saja sudah untung.
Kompetensi Jurnalisme
Kompetensi
jurnalisme telah mematok persyaratan kemampuan profesional tertentu.
Kitty Yancheff (2000) menilik ukuran profesionalisme jurnalis di era
milenium. Menurutnya, pada fase milenium, profesionalisasi wartawan
membutuhkan multi-kompetensi.
Karakteristik performanya menekankan
kekuatan penulisan dan kemampuan oral, ketekunan kerja, dan pemilikan
dasar pengetahuan yang mengombinasikan aplikasi lintas-disiplin
(penguasaan pelbagai format media cetak, siaran, interaktif dan
multimedia) yang dibutuhkan dalam kerja memasok informasi di dunia
profesional industri.
Untuk itu, ia mengajukan sepuluh kompetensi wartawan profesional yang terdiri dari:
(1) Kompetensi-kompetensi penulisan
(2) Kompetensi-kompetensi performa oral
(3) Kompetensi-kompetensi riset dan ivestigatif
(4) Kompetensi-kompetensi pengetahuan dasar
(5) Kompetensi-kompetensi dasar web
(6) Kompetensi-kompetensi audio visual
(7) Kompetensi-kompetensi aplikasi dasar keterampilan komputer
(8) Kompetensi-kompetensi etika
(9) Kompetensi-kompetensi legal
(10) Kompetensi-kompetensi karir.
Kenapa
wartawan dituntut profesional dan berkompeten? Wartawan adalah pekerja
intelektual. Dia harus mampu mengungkap atau menginformasikan suatu
masalah secara lengkap tanpa harus melanggar delik pers. Maka profesi
ini membutuhkan wawasan dan pengetahuan yang luas dan profesional.
Bahkan
di Amerika Serikat (AS), seorang wartawan harus mengikuti jenjang
pendidikan S3 (doktor) sehingga laporan ataupun berita-berita yang
disajikan para wartawan benar-benar menjadi ruang publik atau menjadi
bahan masukan dan informasi yang aktual. Wartawan profesional harus
mampu mengungkap suatu kasus secara tuntas dan menjadi ruang publik.
Yohanes Widodo, peminat jurnalisme, bekerja di Radio Sonora Palembang.
* Artikel ini dimuat di Harian Sumatera Ekspres Palembang, terbitan Kamis-Sabtu, 31 Agustus - 2 September 2006, halaman 18.
Catatan: Tulisan di atas dikopipaste dari: http://masboi.blogdrive.com/archive/9.html
Komentar
Posting Komentar