Semua Bisa Jadi Pewarta


Oleh: Jumadi Mappanganro

JUDUL tulisan ini tak mengada-ada. Reportase atau pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, hingga memublikasikan informasi melalui media massa, tak lagi hanya domain para jurnalis/wartawan yang memang kerjanya di media massa.

Kini siapa saja bisa jadi pewarta atau penyampai berita. Lazim disebut citizen reporter. Kadang juga disebut pewarta warga atau jurnalisme warga (citizen journalism).






Kini, banyak media yang dapat menjadi wadah bagi warga biasa untuk memublikasikan karya jurnalistiknya. Bisa dalam bentuk tulisan, foto, suara (audio), video, gambar/grafis, maupun perpaduannya. 


Sementara media yang dapat jadi wadah penyalurannya, bisa melalui media arus utama (mainstream) semisal surat kabar , majalah, tabloid, radio, dan televisi. Dapat juga melalui media online maupun media sosial lainnya: website, Facebook, Twitter, Blog, dan serupa lainnya. 


Di Sulawesi Selatan, patut disyukuri karena hampir semua media massa di daerah ini memberikan kesempatan bagi siapa saja warga yang ingin memublikasikan karya jurnallistiknya. Satu di antara media massa itu adalah Tribun Timur yang menyediakan halaman Tribun Citizen dan rubrik Citizen Reporter.  


Manajemen Tribun Timur dengan sadar dan sengaja membuka halaman Tribun Citizen atau rubrik Citizen Reporter karena beberapa pertimbangan. Di antaranya jumlah jurnalis yang bekerja untuk Tribun Timur sangat sedikit dibanding luas wilayah liputan/distribusi Tribun Timur edisi cetak (print) yang menjangkau wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.


Belum lagi Tribun Timur dengan edisi online-nya yakni www.tribun-timur.com yang jangkauannya tak lagi kenal batas wilayah jangkauan: di mana saja di belahan dunia ini, sepanjang ada internet, bisa mengaksesnya. 


Dengan demikian dipastikan sangat banyak peristiwa yang tidak terpantau para jurnalis Tribun Timur. Padahal, di antara peristiwa yang tak terjangkau ‘radar’ wartawan Tribun itu sangat boleh jadi menarik atau penting pula diketahui publik. 




Pertimbangan lain, disadari bahwa sangat banyak warga yang bukan berprofesi jurnalis, namun memiliki keterampilan menulis/melaporkan informasi yang tak kalah dengan wartawan.


Bukan hanya itu, dengan kebijakan membuka ruang (space) bagi pewarta warga di Tribun Timur, itu artinya koran yang terbit perdana di Makassar 9 Februari 2004 ini telah mewujudkan yang namanya Jurnalisme Partisipatif. 


Hal tersebut sekaligus sebagai penegasan bahwa para jurnalis di Tribun Timur maupun di media mainstream lain yang juga membuka ruang jurnalisme warga sadar bahwa mereka bukanlah pusat pengetahuan tentang subjek tertentu yang bersifat eksklusif.
 


Ruang terbatas
Kendati kini banyak surat kabar di Sulawesi Selatan membuka ruang untuk pewarta warga atau citizen reporter, tetap saja kolom/ruangnya terbatas. Kecuali media online, lebih leluasa. Untuk media cetak, warga yang ingin memublikasikan karya jurnalistiknya (tulisan dan foto) mesti bersaing dengan pewarta lain.


Pengalaman saya mengelola halaman Tribun Citizen dan rubrik Citizen Reporter di Tribun Timur edisi cetak, setiap hari saya menerima tiga hingga enam laporan dari pewarta warga. 


Banyaknya jumlah laporan dari pewarta warga yang masuk sementara ruang yang terbatas, maka solusi yang saya ambil adalah hanya laporan yang berkualitas atau layak muatlah yang didahulukan/diprioritaskan terbit. Saya rasa demikian pula di media cetak lain.  



 Nah pertanyaannya, apa saja kriteria laporan (tulisan dan foto) tersebut hingga dinilai layak terbit/publikasi? Menurut saya secara umum, kriteria yang perlu diperhatikan para pewarta warga antara lain:


1.    Isi laporan memenuhi unsur 5W + 1 H
5W + 1 H adalah singkatan dari WHAT (apa), WHO (siapa), WHEN (kapan), WHERE (di mana) dan HOW (bagaimana). Ada juga yang mengganti 5W + 1H dengan singkatan ASiKnaMBa yang merupakan kependekan dari: APA, SIAPA, KAPAN, DI MANA, MENGAPA, BAGAIMANA.

Misalnya kita ingin melaporkan atau membuat berita tentang kegiatan lembaga A, maka dalam laporan yang akan dikirim untuk rubrik Citizen Reporter di Tribun Timur misalnya harus ada kejelasan perihal:
- APA: Apa nama kegiatan yang dibuat lembaga A tersebut?
- SIAPA: Siapa penyelenggara kegiatan tersebut? Siapa saja yang menghadiri kegiatan? Siapa saja narasumber pada kegiatan tersebut? Siapa narasumber yang memberi keterangan tentang kegiatan tersebut? Siapa….
- KAPAN: Kapan acara itu digelar? Tanggal, bulan, tahun berapa?
- DI MANA: Di mana kegiatan tersebut di laksanakan? Di jalan mana? Kecamatan mana? Di kota/kabupaten mana? Di provinsi mana?
- MENGAPA: Mengapa kegiatan tersebut digelar?
- BAGAIMANA: Bagaimana jalannya acara tersebut? Bagaimana respon peserta terhadap acara/kegiatan yang diikutinya? Adakah hambatan atau lancar-lancar saja? dll

2.    Panjang Laporan?

Jika menginginkan laporan Anda dikirim dengan maksud dimuat di media cetak, maka sebaiknya isi laporan tak terlalu panjang. Ini karena ruang di media cetak sangat terbatas. 
 


Karena itu saran saya, panjang laporan antara enam hingga delapan paragraf saja. Satu paragraf, idealnya rata-rata terdiri empat baris saja (jenis huruf timesnewroman font 12).

Berbeda halnya jika menginginkan laporan warga (citizen reporter) itu dipublikasikan di media online semacam: www.tribun-timur.com atau kompasiana, maka pewarta bisa mengirimkan laporan yang panjangnya relatif bebas. Bisa tak sampai sehalaman. Namun sangat bisa pula panjang laporan yang Anda kirim lebih satu hingga dua halaman kwarto.

3.    Identitas Pengirim Harus Jelas
Karena berita adalah karya intelektual dan harus bisa dipertanggungjawabkan kebenaran isinya, maka identitas pewarta warga harus jelas. Identitas dimaksud adalah: Nama, pekerjaan atau jabatan dalam organisasi. Tak lupa melampirkan foto pewarta.

4.    Dikirim ke mana?
Jika laporan telah usai dibuat, langkah selanjutnya adalah mengirim laporan tersebut melalui email ke media massa yang ditujukan. Kalau untuk Tribun Timur bisa dikirim ke email: portaltribuntimur@gmail.com

5.    Etika laporan
Karena produk/laporan kita dibaca banyak orang dan heterogen, maka laporan yang akan dikirim ke media massa mesti memerhatikan etika. Nah berikut ini beberapa etika jurnalisme warga yang harus diperhatikan bagi pewarta warga:
*) Hindari pencemaran nama orang, kecuali untuk kepentingan publik
*) Tidak menyebarkan   kebencian rasial dan pertentangan agama
*) Tidak menyebarkan hal-hal amoral atau mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut seksual yang menyinggung perasaan umum
*) Mengedepankan kejujuran atau laporan yang dibuat tidak mengandung kebohongan *) Tidak bermaksud menyampaikan promosi atau iklan palsu/terselubung
*) Pelanggaran hak cipta
*) Jangan gunakan informasi tanpa sumber yang jelas
*) Perhatikan kaidah hukum
*) Hindari konflik kepentingan
*) Mengirim citizen report hanya untuk satu media massa


Nah demikian beberapa poin mendasar yang bisa menjadi rujukan bagi para warga yang berminat menjadi pewarta warga. Selamat mencoba dan mempraktikkannya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? 


Makassar, 3-4 April 2014

Catatan:
*) Jumadi Mappanganro adalah Koordinator Liputan Tribun Timur.
**) Tulisan ini dibuat untuk para peserta Pelatihan Jurnalisme Warga yang digelar Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) di Kantor MAMPU, Jalan HA Mappanyukki, Makassar, 4 April 2014.

Komentar