Sikap Jurnalis Terhadap Korban Narkoba

Oleh: Jumadi Mappanganro

JURNALIS yang kerap meliput peristiwa di lapangan tidak cukup hanya mengusai keterampilan menulis berita sesuai konsep 5W + H. Tapi juga dituntut untuk peduli dengan masalah di sekitarnya. 

Satu di antara masalah tersebut adalah kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya serta zat adiktif (napza) lainnya. Betapa tidak, banyak di antara mereka yang menjadi korban penyalahgunaan napza itu masih usia produktif: 17 hingga 45 tahun. 

Penulis (kiri) saat menjadi narasumber pada Workshop Media Empati dan Perduli Permasalahan Narkotika di Hotel Dinasty, Makassar, 25 Juni 2014. Acara ini dilaksanakan Persaudaraan Korban Napza Makassar (PKNM).
Yang lebih memprihatinkan, kini tak sedikit anak-anak (17 tahun ke bawah) juga terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Anak-anak yang mestinya bergembira dan fokus belajar di sekolah, justru menderita akibat ketergantungan napza.

Para korban ketergantungan narkotika itu pun tak sedikit yang akhirnya terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) hingga Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome disingkat AIDS. 

HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Sedangkan AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.

Para korban tersebut tak hanya mereka yang bermukim di ibu kota-ibu kota metropolitan semacam Jakarta, Surabaya, Medan, dan Kota Makassar. Tapi juga telah menimpa mereka yang bermukim di pelosok-pelosok desa di Indonesia. Tidak terkecuali di Sulawesi Selatan


Sikap jurnalis
Fenomena ini harus mendorong semua pihak untuk peduli. Apa pun itu profesinya. Termasuk para jurnalis. Bagi jurnalis, cara kita peduli pada narkotika dan permasalahannya adalah di antaranya: 

Pertama, mulailah dengan bersimpati dan berniat memberi andil pada upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan napza. Pewarta yang memiliki sikap simpati akan mengutamakan Jurnalisme Simpati dalam menghasilkan karya jurnalistik. 

Jurnalisme simpati yakni karya jurnalistik yang berupaya agar audiens (pendengar, pembaca, atau pemirsa)  tertarik dan mampu merasakan  perasaan obyek yang diberitakan.

Kedua, membuat karya jurnalistik yang mengedukasi dengan mengabarkan bahaya dan dampak penyalahgunaan napza. Namun perlu diingat selalu bahwa karya jurnalistik yang baik adalah berita yang tidak memberi stigma dan diskriminasi para korban napza. 

Misalnya dengan membuat berita yang tidak memberi cap sampah masyarakat dan gelar-gelar negatif lainnya bagi para korban napza. Juga tak menganggap pecandu napza sebagai pelaku kriminal melainkan memandangnya sebagai korban.

Ketiga, agar tak keliru dalam pemberitaannya, jurnalis disarankan menambah wawasannya terhadap napza dan permasalahannya. Caranya dengan meluangkan waktu membaca artikel-artikel atau referensi lainnya yang berkaitan dengan napza. Bisa juga dengan sesekali meluangkan waktu mengikuti seminar, workshop, maupun dialog-dialog yang membahas napza. 

Keempat, jurnalis sedapat mungkin menaruh empati pada korban napza. Dengan empati, maka pewarta tersebut akan menerapkan Jurnalisme Empati dalam membuat karya-karya jurnalistik tentang napza dan permasalahannya. 

Jurnalistik Empati adalah praktik jurnalistik yang tidak secara langsung mengincar beritanya saja, namun juga kepedulian terhadap subjek berita yang mengalami masalah, serta bagaimana seorang jurnalis ini membantu memecahkan masalah subjek berita tersebut.

Kelima, agar empati itu muncul, cara yang bisa dilakukan antara lain dengan bergaul dengan para korban, pendamping mereka, atau para akademisi dan relawan yang selama ini care terhadap permasalahan napza. 

Cara ini bisa pula menumbuhkan empati kita pada para korban napza. Sekaligus dapat menjadi inspirasi para pewarta menghasilkan karya-karya jurnalistik yang lebih mengedukasi dan kaya nuansa human interest-nya.

Keenam, simpati dan empati pun belumlah cukup. Bagi saya, jurnalis idealnya juga turut terpanggil untuk melakukan advokasi. Caranya dengan menghasilkan karya jurnalistik kategori jurnalisme advokasi. 



Jurnalisme advokasi
Sebagaimana pengertian advokasi adalah aksi strategis yang ditujukan untuk menciptakan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat atau mencegah munculnya kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat. 

Advokasi juga dipahami sebagai kegiatan sistematis serta terorganisir untuk memengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan cara pandang, sikap dan kebijakan pada publik, serta kekuasaan secara bertahap maju. 

Advokasi juga istilah lain dari ragam aktivitas yang terintegrasi dan sistematis untuk mencapai perubahan/tujuan dengan melibatkan banyak orang/kelompok melalui proses pendidikan, penyadaran, dan pengorganisasian.

Advokasi juga dilekatkan pada kegiatan yang terorganisir untuk memengaruhi dan membawa perubahan tertentu. Berbeda dengan propaganda, advokasi adalah proses yang lebih arif karena tidak memenangkan atau menjatuhkan salah satu pihak. 


Merujuk dari beberapa pengertian tentang advokasi tersebut, maka Jurnalisme Advokasi yang saya maksudkan kegiatan jurnalistik yang dilakukan secara terorganisir dan sistematis dengan tujuan memengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan cara pandang, sikap dan kebijakan pada publik terhadap para korban dan pecandu napza.

Jurnalisme Advokasi juga menekankan pada kegiatan jurnalistik yang mengungkap fakta akurat dengan menekankan pada keberpihakan terhadap golongan masyarakat yang berhak untuk diadvokasi (para korban napza) disebabkan  kurang mendapat akses informasi yang berkeadilan. 

Dasar tindakan advokasi sejatinya adalah penyadaran terhadap hal-hal yang selama ini tertutupi oleh pandangan umum yang sudah tertanam sedemikian kuatnya sehingga tanpa disadari pandangan umum itu diyakini sebagai sesuatu yang wajar dan benar. 

Satu contoh jurnalisme advokasi yakni berita yang dibuat secara intensif dalam rangka mendorong para aparat penegak hukum untuk lebih mengedepankan dan menggiring pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 

Ini wajib dilakukan sebagaimana diamanatkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Juga diperkuat dengan adanya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE 002/A/JA/02/2013 tentang penempatan pecandu narkotika dalam rehabilitasi medis dan sosial sesegera mungkin.

Bukan mengutamakan memenjarakan para pecandu dan korban penyalahguna napza sebagaimana telah sering disaksikan. Padahal tak sedikit di antara korban narkotika itu justru makin leluasa menggunakan narkoba di rutan maupun di lapas. 

Pun ketika pecandu atau penyalahguna narkotika berada lingkungan penjara, mereka justru rentan tertular HIV/AIDS, Hepatitis C dan B, maupun TBC. Belum lagi masalah over kapasitas di lapas maupun rutan.

Hal tersebut berdasarkan penuturan banyak korban napza yang pernah dipenjara maupun yang pernah menjalani rehabilitasi media dan rehabilitasi sosial.  


Jadi tunggu apalagi. Ayo berbuat mencegah tak bertambahnya jumlah pecandu, penyalahguna, dan para korban napza. Karena itu, jurnalis diharapkan pula turut berpartisipasi memberantas mafia hukum kasus narkotika, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga di rutan maupun di lapas melalui karya jurnalistiknya.

Sedangkan bagi mereka yang kini telah menjadi pecandu, penyalahguna, atau para korban napza, kita upayakan agar mereka tetap mendapatkan hak-hak asasinya sekaligus berupaya agar mereka dapat segera sembuh dan kembali berperilaku hidup sehat. (jumadi mappanganro)
 
Catatan: Tulisan di atas merupakan poin-poin yang saya sampaikan sebagai salah satu pembicara pada Workshop Media  Empati dan Peduli Permasalahan Narkotika di Hotel Dinasty, Makassar, 25 Juni 2014. Acara ini dilaksanakan Persaudaraan Korban Napza Makassar (PKNM)

Komentar