Sekilas Tentang Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan


Oleh: Jumadi Mappanganro

IDE membentuk Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan muncul saat saya bersama Hendra Nick Arthur bincang-bincang santai sembari menyeruput kopi hangat di Warkop (Warung Kopi) 76.

Warkop ini  terletak di Jalan Toddupuli, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Hendra adalah wartawan Kantor Berita Nasional (KBN) ANTARA yang  juga Sekretaris Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan.

Saat itu malam Minggu, pekan pertama September 2011. Saya awalnya mengusulkan nama Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa kami menggunakan nama Manai Sophiaan dan siapakah dia?

Manai Sophiaan yang dimaksud adalah nama tokoh nasionalis kelahiran Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, pada 5 September 1915 silam .

Ia adalah mantan Duta Besar RI untuk Rusia yang meninggal di Jakarta pada Jumat 29 Agustus 2003.

Dia juga tak lain adalah ayah dari artis sekaligus politikus, Sophan Sophiaan, yang juga telah meninggal.  Manai dikenal pula sebagai loyalis Presiden Soekarno.

Kami memilih nama Manai Sophiaan karena almarhum adalah tokoh asal Sulawesi Selatan yang namanya tercatat dalam sejarah perkembangan pers di Indonesia sebagai jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Soeara Indonesia. 

Ini adalah koran pertama terbit di Makassar yakni pada tahun 1945 atau sekitar dua tahun sebelum surat kabar Pedoman (yang kemudian berubah menjadi Pedoman Rakyat) terbit di Makassar.

Namun surat kabar yang diasuh Manai itu hanya berumur pendek. Hanya dua tahun. Saat itu Manai harus meninggalkan Makassar menuju Jawa.

Tapi bukan karena latarbelakang sebagai mantan duta besar dan pendukung setia Presiden Soekarno yang membuat kami menyematkan nama Manai Sophiaan pada lembaga ini.

Nama Manai Sophiaan juga tercatat sebagai satu-satunya jurnalis asal Sulawesi Selatan yang ikut mendeklarasikan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta, Jawa Tengah, pada 8-9 Februari 1946 silam.

Profesi sebagai jurnalis cukup lama diemban Manai sebelum hijrah total di urusan politik.

Manai pernah menjadi Pemimpin Redaksi koran Suluh Indonesia (1954-1959) serta Pemimpin Redaksi Suluh Marhaen (1968-1972). Kedua koran ini berada di Jawa.

Dengan maksud mengenang dan menghormati jasa Manai Sophiaan di bidang jurnalistik itulah saya mengusulkan nama Manai Sophiaan disematkan pada Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan.

Saat saya menyampaikan usulan nama itu, Hendra sempat bertanya, “Apa perlu kita meminta izin kepada pewaris atau keluarga Manai Sophiaan untuk menggunakan nama tersebut?”

Saya katakan bahwa idealnya memang perlu kita sowan kepada keluarga Manai untuk menyampaikan maksud tersebut.

Tapi saya rasa itu bukan keharusan. Apalagi saya dan Hendra tak mengetahui siapa keluarga dekat almarhum yang bisa ditemui maupun dikontak via telepon.

Mengapa bukan keharusan? Sebab saya pikir -semoga tak salah- jika nama Manai Sophiaan hanya boleh dimiliki atau digunakan oleh keluarganya yang memiliki hubungan darah saja, maka itu sama saja mengerdilkan jasa-jasa Manai Sophiaan untuk bangsa ini.

Bagi saya, karena peran besarnya untuk bangsa Indonesia, maka Manai Sophiaan juga milik anak bangsa Indonesia.

Jadi siapa saja mau menggunakan namanya untuk disematkan ke nama lembaganya, saya kira boleh-boleh saja. Apalagi lembaga itu dimaksudkan untuk tujuan positif.  Mendengar penjelasan itu, Hendra pun tak keberatan.

Namun belakangan, mantan Ketua PJI Sulawesi Selatan Nasrullah Nara mengusulkan agar kata sekolah diganti dengan kata lembaga yang kesannya non-formal.

Sebab, katanya, kalau kata sekolah, kesannya formal. Khawatir banyak orang salah paham menyangka Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan seperti lembaga pendidikan resmi yang diakui dinas pendidikan dan mengeluarkan ijazah resmi.

"Makanya sebaiknya kata sekolah diganti lembaga," pesan Nasrullah Nara saat berkunjung di Sekretariat PJI Sulawesi Selatan, Jl Melati II No 5, Kompleks Maizonet, Kecamatan Panakkukang, Makassar, November 2011 lalu.

Setelah mempertimbangkan saran Nasrullah yang juga wartawan Kompas itu, dengan sadar kami pun menuruti pesan tersebut.

Jadilah kini nama Sekolah Jurnalistik Manai Sophiaan menjadi Lembaga Pendidikan Jurnalistik (LPJ) Manai Sophiaan.

Seperti namanya, lembaga ini hadir dengan maksud berperan merawat kemerdekaan pers melalui kegiatan berbagi pengetahuan demi ikut meningkatkan mutu jurnalis.

Semoga harapan ini dikabulkan dan mendapat berkah dari-NYA. Amin.(*)

Ditulis di Warkop 76, Makassar, 24 Desember 2011

Jumadi Mappanganro, Ketua PJI Sulawesi Selatan periode 2011-2016x









Komentar